Konsentrasi CO₂ di Atmosfer Mencapai 427 PPM, Tertinggi dalam Sejarah dunia kembali dikejutkan dengan laporan terbaru dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang menyatakan bahwa konsentrasi karbon dioksida (CO₂) di atmosfer telah mencapai rekor tertinggi, yakni 427 bagian per juta (ppm) pada Mei 2025. Angka ini menandai kenaikan yang signifikan dibandingkan tingkat pra-industri yang berkisar di angka 280 ppm, dan melampaui ambang kritis yang selama ini menjadi perhatian ilmuwan iklim.
Konsentrasi CO₂ sebesar ini belum pernah terjadi dalam sejarah manusia modern, bahkan dalam catatan geologis selama lebih dari 4 juta tahun terakhir. Para ilmuwan menegaskan bahwa peningkatan ini merupakan indikator utama bahwa upaya global untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Tren Kenaikan yang Konsisten
Dalam tiga dekade terakhir, konsentrasi CO₂ terus meningkat dengan kecepatan yang mengkhawatirkan, didorong oleh pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan aktivitas industri. Meski ada penurunan sementara selama pandemi COVID-19 pada awal 2020-an, tren jangka panjang tetap menunjukkan lonjakan yang stabil.
Dr. Elena Morozova, pakar iklim dari WMO, menyatakan bahwa “angka 427 ppm bukan sekadar angka statistik, melainkan peringatan keras bahwa kita sedang bergerak terlalu cepat menuju kondisi iklim yang tidak dapat dibalik.” Ia menambahkan bahwa bahkan jika emisi dihentikan hari ini, dampaknya masih akan terasa selama berabad-abad karena sifat CO₂ yang bertahan lama di atmosfer.
Dampak Langsung dan Jangka Panjang
Peningkatan konsentrasi CO₂ secara langsung memperkuat efek rumah kaca, memerangkap panas di atmosfer dan menyebabkan pemanasan global yang lebih parah. Dampak dari tren ini sudah terlihat jelas: suhu rata-rata global telah meningkat sekitar 1,2°C dibandingkan era pra-industri, menyebabkan pencairan es di kutub, naiknya permukaan laut, gelombang panas ekstrem, serta pola cuaca yang tidak menentu.
Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dampak nyata berupa musim kemarau yang lebih panjang, banjir bandang, dan gangguan pada sektor pertanian sudah mulai dirasakan oleh masyarakat. Laporan dari BMKG menyebut bahwa Indonesia menghadapi risiko peningkatan suhu tahunan yang dapat berdampak pada ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat.
Tindakan Global Masih Lambat
Meskipun telah disepakati berbagai inisiatif internasional seperti Perjanjian Paris, laporan terbaru ini menunjukkan bahwa emisi global belum menunjukkan tren penurunan yang cukup untuk menahan pemanasan di bawah 1,5°C. Negara-negara industri masih menjadi kontributor utama, sementara banyak negara berkembang menghadapi dilema antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan iklim.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut laporan ini sebagai “alarm darurat” dan menyerukan agar KTT Iklim berikutnya menghasilkan kebijakan konkret yang tidak hanya bersifat sukarela. “Ini adalah masalah keberlangsungan umat manusia, bukan sekadar statistik ilmiah,” ujarnya.
Penutup
Konsentrasi CO₂ yang kini mencapai 427 ppm merupakan tonggak sejarah kelam dalam krisis iklim global. Tanpa perubahan sistemik yang cepat dan menyeluruh dalam energi, transportasi, dan konsumsi global, dunia akan menghadapi konsekuensi yang semakin sulit dikendalikan. Saatnya tindakan berbicara lebih keras dari janji.