Asia Kehilangan $2 Triliun Akibat Bencana Cuaca Ekstrem Sejak 1993

Asia Kehilangan $2 Triliun Akibat Bencana Cuaca Ekstrem Sejak 1993

Asia Kehilangan $2 Triliun Akibat Bencana Cuaca Ekstrem Sejak 1993 telah kehilangan lebih dari $2 triliun akibat dampak bencana cuaca ekstrem sejak tahun 1993, menurut laporan terbaru dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang dirilis pada awal Juni 2025. Kerugian tersebut mencakup dampak ekonomi langsung dari badai tropis, banjir, gelombang panas, kekeringan, dan tanah longsor yang semakin sering terjadi dalam tiga dekade terakhir akibat perubahan iklim global.

Laporan ini mencerminkan bagaimana wilayah dengan populasi terbanyak di dunia juga menjadi salah satu yang paling rentan terhadap krisis iklim. Negara-negara seperti Tiongkok, India, Bangladesh, Indonesia, dan Filipina tercatat mengalami kerugian paling besar, baik dari sisi ekonomi maupun jumlah korban jiwa.

Lonjakan Kerugian Ekonomi dan Manusia

Menurut WMO, hanya dalam sepuluh tahun terakhir, kerugian tahunan rata-rata akibat cuaca ekstrem di Asia meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dekade sebelumnya. Di tahun-tahun tertentu, seperti 2020 dan 2022, kerugian ekonomi melampaui $100 miliar per tahun.

“Bencana alam kini bukan lagi kejadian luar biasa, melainkan pola baru yang berulang dan semakin intens,” ujar Prof. Petteri Taalas, Sekretaris Jenderal WMO. “Asia, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia, kini menghadapi ancaman yang sangat serius terhadap ketahanan ekonominya.”

Salah satu contoh besar yang diangkat dalam laporan adalah Topan Haiyan (Filipina, 2013), banjir besar di Pakistan (2022), dan gelombang panas ekstrem di India serta Asia Tenggara (2023). Selain menelan ribuan korban jiwa, peristiwa-peristiwa ini juga merusak infrastruktur vital, menghentikan kegiatan ekonomi, dan menyebabkan migrasi internal berskala besar.

Negara Berkembang Paling Rentan

Negara berkembang di Asia menjadi pihak paling terdampak, karena keterbatasan dalam sistem peringatan dini, infrastruktur tangguh, dan perlindungan sosial. Bahkan, negara-negara kepulauan seperti Maladewa dan Tuvalu menghadapi ancaman eksistensial akibat kenaikan permukaan laut yang memperparah kerusakan akibat badai tropis.

Indonesia, yang terletak di cincin api dan kawasan tropis, juga termasuk dalam daftar negara dengan risiko tertinggi. BNPB mencatat bahwa dalam 10 tahun terakhir, Indonesia rata-rata mengalami lebih dari 2.500 bencana alam per tahun, sebagian besar terkait dengan iklim.

Seruan untuk Adaptasi dan Mitigasi

Laporan WMO juga menekankan pentingnya investasi dalam adaptasi iklim, termasuk sistem peringatan dini, tata ruang berbasis risiko, serta transisi menuju energi bersih. Saat ini, hanya sebagian kecil negara Asia yang mengalokasikan lebih dari 1% dari PDB-nya untuk mitigasi perubahan iklim.

Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan bahwa Asia membutuhkan lebih dari $3 triliun dalam dekade ini untuk memperkuat ketahanan iklim dan menekan laju emisi karbon.

“Tanpa investasi yang masif dan terkoordinasi, kerugian akan terus meningkat, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga kemanusiaan,” kata Satya Tripathi, Direktur Global Alliance for a Sustainable Planet.

Penutup

Bencana cuaca ekstrem bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang sudah menghantam Asia dengan keras. Dengan kerugian lebih dari $2 triliun sejak 1993, kawasan ini dihadapkan pada pilihan mendesak: memperkuat ketahanan iklim sekarang atau menghadapi konsekuensi yang jauh lebih besar dalam beberapa dekade ke depan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *